1. Intellegent Quotient (IQ)
Kecerdasan Pikiran ini merupakan kecerdasan yang bertumpu kemampuan otak
kita untuk berpikir dalam menyelesaikan masalah. Jika kita mengikuti
Psikotes, ada banyak soal yang menuntut kejelian pikiran kita untuk
menjawabnya, misalnya soal mengenai delik ruang seperti bentuk ruang
kubus yang diputar-putar akan menjadi seperti apa. Soal ini bertujuan
untuk melihat kemampuan pikiran kita dalam menyelesaikan suatu masalah
dari berbagai sisi.
Sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan
promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai
standar mengukur kecerdasan seseorang. Tetapi namanya juga temuan
manusia, istilah tehnis yang berasal dari hasil kerja Alfred Binet ini
(1857 – 1911) lama
kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka mencatat sedikitnya
ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi,
yaitu:
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia
itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat.
Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya
42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari
proses belajar.
b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah
tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta
bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
2. Emotional Quotient (EQ)
Disebut juga kecerdasan Emosi. Kecerdasan Emosi ini didasarkan kepada
kemampuan manusia dalam mengelola emosi dan perasaan. Kecerdasan Emosi
ini sangat berpengaruh dalam performace dan kecakapan emosi kita dalam
bekerja, dan juga kemampuan diri kita dalam menghadapi suatu masalah.
Seseorang yang memiliki Emosi yang buruk walaupun IQ nya besar, dia akan
gagal dalam hidupnya dikarenakan tidak mampu mengontrol diri saat
menghadapi suatu masalah. Kecerdasan emosi sudah menjadi suatu tolok
ukur utama yang dicari oleh perusahaan pada pegawainya dan sering
merupakan karakteristik penentu kesuksesan dalam kerja dan pembedaan
kinerja dan performace suatu karyawan. Kecerdasan emosi adalah kemampuan
untuk mendapatkan dan menerapkan pengetahuan dari emosi diri dan emosi
orang lain agar bisa lebih berhasil dan bisa mencapai kehidupan yang
lebih memuaskan. Dalam psikotes pun kecerdasan emosi ini sering menjadi
tolak ukur utama dalam merekrut pegawai, karena dengan kecerdasan emosi
yang tinggi walaupun memiliki IQ yang rendah cenderung perusahaan
merekrut pegawai yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, karena
kecerdasan IQ mudah untuk ditingkatkan dibandingkan kecerdasan emosi.
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence
(1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang
hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun
faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama tehnis itu
ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ
mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya
menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian
dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi
sesuatu yang positif dan bermanfaatKarena kecerdasan emosi ini lebih
ditekankan kepada jati diri dan emosi kita. Walaupun emosi dapat
dikontrol dengan mengikuti pelatihan-pelatihan seperti ESQ dan lainnya,
tetapi butuh kesadaran tinggi untuk mengontrol emosi kita ini.
3. Spiritual Qoutient (SQ)
Kecerdasan Spiritual ini berkaitan dengan keyakinan kita kepada
Tuhan.Kecerdasan ini muncul apabila kita benar-benar yakin atas segala
ciptaannya dan segala kuasanya kepada manusia (bukan atheis).
Danah Zohar, penggagas istilah tehnis SQ (Kecerdasan Spiritual)
dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran),
dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ
(spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’ ( Danah Zohar
& Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence:
2001). Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa
sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan
dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.
Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh
kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling
sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan
jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan
memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan
penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia
mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang
positif.
4. Moral Quotient (MQ)
Nilai, filosofi, dan kumpulan kecerdasan moral memiliki pengaruh yang
sangat penting terhadap bisnis. Hal tersebut merupakan dasar dari visi,
tujuan, dan budaya organisasi. Tantangan dari kecerdasan moral bukan
hanya untuk mengetahui yang benar dan yang salah, namun juga untuk
berbuat serta melakukan tindakan yang benar. Pada segolongan populasi
manusia terdapat sekelompok manusia dengan jumlah prosentase yang kecil
menderita, mengalami sakit jiwa ataupun terkucil. Kelompok ini
kemungkinan tidak “mengerti” yang benar dan yang salah. Mengapa kita
tidak lebih sering melakukan tindakan yang tepat? Kebanyakan orang
melakukan tindakan yang tepat kadang-kadang saja. Bertindak atas setiap
keputusan yang kita buat setiap hari, mempertimbangkan apa yang “benar”,
apa yang lebih baik dan dapat membantu komunitas kita, organisasi, dan
orang lain. Namun kita tidak selalu setuju dengan apa yang benar.
Dalam hal ini nilai dan filosofi turut berperan. Penilaian kita menjadi
dasar dalam percaya dan menentukan tindakan. Filosofi merupakan jalan
bagi kita untuk menentukan nilai. Filosofi yang cerdas merupakan
keinginan untuk memahami manusia, benda, dan dunia melalui rangkaian
kata yang menggambarkan bagaimana mereka bekerja dengan demikian
menyediakan suatu keamanan emosional dalam meramalkan masa depan.
Manusia dengan filosofi mempercayakan pada logika dalam membuat
keputusan, dan menaksirkan harga dari sesuatu melawan “kode” yang
mendasar atau mengatur garis pedoman yang menyebabkan ketegangan.
Manusia dengan pandangan ini mempercayakan pada kesadaran persaingan,
terkadang pada wewenang sosial yang terpisah. Anda mungkin pernah
mendengar perkataan seseorang dengan filosofi yang cerdas, contohnya:
“jika anda memiliki solusi yang luwes, orang lain akan mempercayainya.
Tidak perlu mencoba untuk meyakinkan mereka mengenai kebaikannya.”
Mereka dapat menggunakan sebuah gaya kemimpinan, jika visi yang
digambarkan menjadi penyebab yang baik di masa depan.
Dalam hipotesa penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hal lebih
mendasar dari kemampuan kecerdasan emosional. Hal tersebut tampak
semacam kompas moral. Hal tersebut merupakan jantung dari kesuksesan
bisnis yang berjalan lama. “Sesuatu yang lebih” ini dinamakan kecerdasan
moral (moral intelligence). Kecerdasan moral merupakan kapasitas mental
untuk menentukan bagaimana prinsip umum manusia yang harus digunakan
pada nilai, tujuan, dan tindakan. Istilah yang mudah, kecerdasan moral
merupakan kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah seperti
yang didefinisikan oleh prinsip umum. Prinsip umum merupakan kepercayaan
mengenai tingkah laku manusia secara umum pada seluruh budaya di dunia.
Kecerdasan moral bukan hanya penting untuk mengefektifkan kepemimpinan,
namun juga merupakan “pusat kecerdasan” bagi seluruh manusia. Mengapa?
Karena kecerdasan moral secara langsung mendasari kecerdasan manusia
untuk berbuat sesuatu yang berguna. Kecerdasan moral memberikan hidup
manusia memiliki tujuan. Tanpa kecerdasan moral, kita tidak dapat
berbuat sesuatu dan peristiwa-peristiwa yang menjadi pengalaman jadi
tidak berarti. Tanpa kecerdasan moral kita tidak akan tahu mengapa
pekerjaan yang kita lakukan? Dan apa yang harus dikerjakan?
5. Adversity Quotient
Ketika akhirnya Thomas Alva Edison (1847 - 1931) berhasil menemukan
baterai yang ringan dan tahan lama, dia telah melewati 50.000 percobaan
dan bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada yang bertanya, “Mr.
Edison, Anda telah gagal 50.000 kali, lalu apa yang membuat Anda yakin
bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara spontan Edison langsung
menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak
hasil.
Apakah adversity quotient (AQ) itu? Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan
untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan
bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan
kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang
memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan
orang yang AQ-nya lebih rendah.
Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki
gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga
bagian:
1. Quitter (yang menyerah). Para quitter adalah para pekerja yang
sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah
di tengah jalan.
2. Camper (berkemah di tengah perjalanan) Para camper lebih baik, karena
biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap
mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau
“segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini
sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju
dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak
teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum
selesai.
3. climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka,
yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan
pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau
mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang.
Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak
kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.
Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata
lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter.
Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu
contoh ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki
kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi.
Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi (emotional
quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial
quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution
quotient) karya Stephen R. Covey. AQ ternyata bukan sekadar anugerah
yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan
tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level
AQ-nya. Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang
sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan
yang mudah mereka malah khawatir.
Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan
kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan
Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap
ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki
tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi
terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa
komitmen, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan
baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan,
bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk
mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan
orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara
atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua
dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New
Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam
menghadapi tantangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar